Dari bongkahan batu yang dibelah di hutan menjadi karya seni kerajinan batu yang fungsional, kuat, tahan lama, bernilai seni dan indah dilihat.
Pewarta : Nurul Ikhsan | Editor : Nurul Ikhsan
Hampir setiap hari ibu atau istri tercinta di dapur membuat sambal untuk melengkapi menu makan keluarga. Kurang lengkap jika makan tak ada sambal terhidang di meja makan. Tahukah bagaimana proses cobek dan penggerus atau ulekannya sebagai alat membuat sambal dibuat?.
Kuninganpos.com berkesempatan mengunjungi seorang perajin pembuat cobek di Dusun Curugpawon, Desa Galaherang, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan. Desa dengan beribu pesona keindahan panorama alamnnya ini terletak di sebelah timur kota Kuningan dikenal sebagai desa penghasil barang kerajinan berbahan baku batu, seperti cobek, penggerus atau ulekan, jubleg, batu nisan, dan beberapa jenis kerajinan berbahan batu lainnya.

Bapak Eco, seorang perajin kerajinan batu senior yang masih tersisa. Ia sudah menjalani profesinya lebih dari 40 tahun. Masih bisa menekuni profesi ”tukang matuk” ini menurutnya tidaklah mudah. Apalagi diusianya yang tak lagi muda ia masih harus pergi ke hutan untuk mencari, memilih, membelah batu hingga mengangkutnya dari hutan ke rumah. Biasanya ia mengerjakan membuat pola di tempat ”pamatukan” di bukit Cibolenang di Gunung Kalaban, Desa Galaherang. Setelah setiap bongkahan batu di buat pola, selanjutnya dibawa ke rumah untuk proses pengerjaan penghalusan, dan pengukiran untuk batu nisan. Bongkahan batu yang dibuat pola di hutan bertujuan untuk mengurangi beban berat batu saat diangkut ke rumah untuk pengerjaan penghalusan.
Di usianya yang sudah 65 tahun, jelas tenaganya tak lagi kuat. Terlihat telapak tangannya pun sudah kapalan. Sudah tak terhitung dibeberapa bagian badannya terluka saat pengerjaan kerajinan batu yang sudah dijalaninya selama puluhan tahun. Namun, rasa sakit dan peluh keringat dari rasa lelah tak menyurutkan semangatnya terus rajin bekerja untuk menafkahi keluarga kecil yang sangat dicintainya. Terkadang Ia dibantu menantu lelalakinya, Dian Ardiansah. Dian membantunya disela waktu bekerja di peternakan Galajaya Farm di desanya.
Saat masih kecil dulu, Ia mengenang setiap sepulang sekolah selalu rajin membantu ”jajap” ayahnya mengangkut batu yang sudah dibuat pola dari hutan dibawa ke rumah untuk dijadikan bahan membuat berbagai barang kerajinan. Ayahnya dulu mengajari mulai dari memilih batu yang bagus, keras dan kuat, cara membelah batu, cara membuat pola, hingga pengerjaan menghaluskan setiap produk kerajinan batu yang dibuat. Ayahnya juga mengenalkan alat-alat kerja yang dipakai untuk membelah batu, membuat pola hingga alat kerja untuk menghaluskan.

Seluruh alat kerjanya berbahan besi dari baja atau bekas golok yang dibuat pipih menjadi pahat yang tajam dan kuat. Selain pahat juga ada martil ukuran besar, sedang dan kecil. Setiap proses dikerjakan dengan sangat hati-hati agar batu tidak belah dan gagal dibuat, selain tentunya sentuhan seni yang yang menjadikan setiap produk yang dibuat tidak hanya kuat dan tahan lama, tapi juga bernilai seni.
Dari workshop kecil yang sederhana di belakang rumah, sudah tak terhitung ratusan cobek dengan berbagai ukuran dan penggerus yang sudah dibuatnya, dan ratusan batu nisan yang dibuat pasangan dari tangan terampil dan dari jiwa seninya yang kuat dalam seni memahat batu. Dari bongkahan batu yang dibelah di hutan menjadi karya seni kerajinan batu yang fungsional, kuat dan indah dilihat. Konsumen pasti tidak akan kecewa membeli produk kerajinan batu dari Bapak Eco.
Ia membuat banyak cobek dengan berbagai ukuran dan ulekannya. Selanjutnya dijual ke konsumen yang datang atau dipasarkan ke luar desa. Ia membuat cobek dari ukuran kecil sampai ukuran besar untuk dipakai usaha kuliner karedok atau gado-gado dan rujak ulek. Khusus batu nisan biasanya dikerjakan sesuai pesanan saja.

Konsumennya tidak saja berasal dari Desa Galaherang dan desa-desa di sekitarnya, tapi dari berbagai desa di Kabupaten Kuningan. Produk kerajinan batu Bapak Eco sudah cukup tersohor di Kuningan. Promosi dari mulut ke mulut cukup efektif karena biasanya konsumen merasa puas dan memberikan testimoni dan rekomendasi ke orang lain yang mau memesan.
Harga cobek ukuran kecil dibandrol dengan harga Rp 30.000-70.000. Cobek ukuran sedang ukuran 40 cm dihargai Rp 250.000, dan cobek ukuran 50 cm Rp 500.000. Sementara cobek besar ukuran 80-100 cm yang biasanya dipakai untuk usaha gado-gado dibandrol Rp 1.500.000, dan penggerus atau ulekan mulai dari harga Rp 15.000-20.000. Batu nisan ukuran kecil dibandrol Rp 500.000, dan ukuran sedang Rp 700.000. Khusus batu nisan ukuran besar dihargai Rp 2.500.000.
Menurut Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdesa) Galaherang, Jamaludin Al Afghani yang ikut mendampingi Kuninganpos.com, mengungkapkan Bumdesa yang dipimpinnya akan membantu mempromosikan produk kerajinan batu dari usaha Bapak Eco. Menurutnya, selain cara pemasaran tradisional tentunya pemasaran dengan platform digital atau online akan lebih membantu meluaskan promosi dan pemasarannya.
”Promosi dan pemasaran produk kerajinan batu dari usaha Bapak Eco melalui platform digital atau online tentunya akan lebih menjangkau banyak konsumen. Kami juga akan men-display produk-produknya di gerai produk Bumdesa agar setiap tamu atau mitra kerja Bumdesa bisa melihat dan tertarik membeli,” tandasnya.
Gani, sapaan akrab lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas Kuningan ini menambahkan bahwa Bumdesa akan menjadi mitra strategis bagi pelaku usaha UMKM. Bumdesa hadir untuk mendorong setiap usaha bisa naik kelas, baik dari sisi kualitas produk, packaging, harga yang bersaing hingga perluasan jangkauan pemasarannya.
”Kami tengah menyiapkan platform digitalnya yaitu website dan toko online yang berisi katalog produk-produk UMKM yang ada di Galaherang, selain produk dari usaha Bumdesa sendiri yaitu produk pertanian seperti cabai, jagung dan komoditi pertanian lainnya. Website juga akan kami perkuat dengan media sosial dan layanan hotline whatsapp yang 24 jam siap menerima pesanan,” pungkasnya.
