Akhirnya Aku Memiliki Senyuman Manis Itu


Cerpen karya Ramli Lahaping

Jika perlu, aku akan melontarkan candaan ampuh agar kau menyibak jendela surgamu itu. Kalau pun tak mempan, aku akan menggelitik pinggangmu. 

“Mau pesan apa, Kak?” tanyamu, dengan raut datar.

“Susu kopi,” jawabku, sebagaimana ancanganku sebelum sampai di kafe itu, tanpa merasa perlu memerhatikan daftar menu yang engkau ajukan.

“Maksud Kakak, kopi susu?” sidikmu, tampak bingung, seolah aku telah salah menyebut pilihan menu.

“Susu kopi.” Kuulang pesananku sambil menatap matamu. “Maksudku, susunya lebih terasa daripada kopi susu yang biasa. Aku suka yang manis.”

Ia kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum canggung, lantas berbalik dengan raut yang tampak masih menyiratkan perasaan ganjil.

Begitulah, pada satu malam, aku bermaksud memancing agar kau merekahkan senyumanmu. Aku selalu ingin menatapnya lebih jelas sejak pertama kali aku berkunjung ke kafe tempatmu bekerja sebagai pramusaji, sejak pertama kali mataku melihatnya. Sejak saat itu, aku selalu mencari sudut pandang terbaik untuk menatap keindahanmu itu, termasuk dengan membuat-buat perkara saat kau berada di dekatku untuk urusan pesanan. 

Sikapmu memang membuatku harus pandai-pandai memanfaatkan momentum. Kau begitu pelit membagikan senyumanmu. Kau jarang merekahkannya secara lepas. Lebih sering, kau hanya akan tersipu sembari menutup mulutmu dengan tangan. Karena itulah, aku selalu tergoda untuk mencandaimu, agar kau sontak tergelitik dan tak sempat menyembunyikannya. Aku sungguh selalu ingin melihatnya setiap kali berada di kafe milik pamanmu itu. Meski hanya sekilas. 

Aku heran kenapa kau begitu malu-malu memperlihatkan senyumanmu. Padahal, senyuman seindah itu jelas patut untuk dibanggakan dan dipamerkan. Tetapi kutaksir-taksir, kau sepertinya kurang percaya diri dengan gigi gingsul yang tumbuh pada kedua sisi taringmu. Kau seolah menganggap itu adalah aib yang mesti disembunyikan. Sedang menurutku, keunikan itulah yang membuatmu menarik. Itu membuatmu tidak sekadar cantik, tetapi juga manis. 

Tambah lagi, setiap unsur wajahmu akan bersatu membentuk tampakan yang mengagumkan saat kau tersenyum. Bibirmu yang berbentuk hati akan melebar dan tampak seperti perpaduan bulan sabit dan burung yang terbang. Pipimu yang tembam akan mengembang dan memunculkan sepasang ceruk lesung yang tampak seperti pusaran air. Cuping hidungmu akan merekah, serta sudut matamu akan menyipit. Kau sungguh imut saat sedang begitu. 

Atas senyuman manismu itu, aku pun jadi berhasrat untuk memilikimu. Aku selalu berkhayal, betapa indahnya hidupku kalau aku bisa melihat senyumanmu kapan pun aku mau. Kurasa, tidak akan ada permasalahan dunia yang bisa merisaukan perasaanku selama kau disampingku, dan senantiasa tersenyum. Jika perlu, aku akan melontarkan candaan ampuh agar kau menyibak jendela surgamu itu. Kalau pun tak mempan, aku akan menggelitik pinggangmu. 

Demi impian besar itu, aku kemudian merintis jalan pendekatan, setapak demi setapak. Aku rajin mengunjungi kafe tempatmu bekerja untuk keperluan tugas kuliah, atau sekadar menonton pertandingan sepak bola. Pada setiap kesempatan itu, aku akan mencari-cari cara untuk mendekatimu dan mengakrabimu, termasuk dengan hanya memesan menu lewat dirimu, sembari melontarkan guyonan receh untuk memberikan kesan kepadamu.

Dengan cara pendekatan itu, kau pun mulai mengenaliku secara khusus. Kau mulai memahami watak dan kebiasaanku saat berada di kafe tersebut. Sampai akhirnya, setelah keisenganku mengerjaimu dengan istilah “susu kopi”, kau pun mulai tak segan menyapaku, bahkan mulai berani mencandaiku dengan memanggilku “Kak Sukop”. Karena itu, lambat laun, kita jadi makin akrab, dan aku jadi makin mudah mendapatkan senyumanmu. 

Tetapi aku tak ingin sekadar mengakrabimu dengan pengenalan yang dangkal. Aku ingin mengetahui tentang dirimu lebih dalam. Untuk itu, aku memberanikan diri meminta nomor kontakmu. Aku beralasan kalau aku memerlukannya untuk memesan menu kepadamu sebelum aku ke kafe, agar pesananku segera tersaji setelah aku datang. Alasan itu tentu aneh, tetapi kau tak bertanya curiga dan langsung memberiku nomor Whatsapp-mu. 

Pada waktu-waktu kemudian, kita akhirnya jadi sering berkomunikasi melalui saluran pribadi, meski akulah yang senantiasa memulainya. Setiap kali kau mengunggah stori di Whatsapp, aku akan mencari-cari alasan yang pantas untuk memberikan komentar demi memancing obrolan. Entah dengan pura-pura mengucapkan selamat atas unggahan pencapaianmu, mengaku gemar juga atas unggahan kegemaranmu, atau menanyakan arti atas unggahan kata-kata mutiaramu. 

Seiring komunikasi kita yang makin cair dan berimbang, aku jadi banyak tahu tentang dirimu. Yang paling penting adalah, aku jadi tahu nama lengkapmu. Berbekal itu, aku kemudian berhasil menemukan akun-akun media sosialmu. Melalui itu, aku pun makin tahu tentang dirimu tanpa perlu bertanya. Meski demikian, pengetahuanku tidak benar-benar mendalam, sebab kau pelit membagikan perihal pribadimu di dunia maya. Bahkan aku hanya menemukan segelintir fotomu.

Tetapi setidaknya, aku berhasil mengetahui hal yang utama, bahwa kau seorang mahasiswi tahun kedua yang masih jomlo. Aku bahkan tak menemukan tanda-tanda kalau kau sedang dekat dengan seorang lelaki. Aku pun jadi merasa punya kesempatan yang besar untuk menjadikanmu pasangan hidupku. Karena itu, aku terpacu untuk segera menyelesaikan skripsiku, agar aku bisa mendapatkan gelar sarjana, agar aku bisa mendapatkan pekerjaan, agar aku bisa menikahimu. 

Atas perasaan cintaku dan harapanku untuk hidup bersamamu, pada satu malam, selepas kita mengobrolkan sebuah puisi yang kau unggah di stori Whatsapp-mu, aku pun terdorong untuk menuliskan puisi untukmu. Dengan tuntunan hati, aku menyusun kata demi kata sebagai pujian untuk senyuman manismu yang telah membuatku terpesona. Sampai akhirnya, secara ajaib, sajak itu rampung dalam waktu singkat dan berhasil membuatku terkagum-kagum sendiri. 

Tetapi nahas. Di tengah keakraban kita, aku harus mengubur impianku. Tiga hari sebelum hari ulang tahunmu yang telah kutetapkan sebagai saat yang tepat untuk mengirimkan puisiku kepadamu, aku malah menemukan kabar memilukan yang menandai akun Facebook-mu, bahwa kau telah meninggal karena kecelakaan tunggal saat mengendarai sepeda motor. Akhirnya, karena cintaku yang tak sampai dan tetap mengawet, aku terus menyimpan puisiku untukmu. 

Setelah kepergianmu, waktu-waktu akhirnya kulalui dengan bayang-bayangmu. Aku pun ragu akan bisa melenyapkan harapanku atas dirimu. Aku bahkan ragu akan bisa mengalihkan perasaanku kepada perempuan yang lain. Pasalnya, kuyakin, tak ada yang bisa mengalahkan senyumanmu di dalam hatiku. Karena itu, aku pasrah untuk hidup dengan kenangan. Aku bahkan kerap menyambangi kafe tempatmu bekerja, sekadar untuk mengecap-ngecap keberadaanmu

Namun beruntung. Tanpa pernah kuduga, sebulan setelah kepergianmu, aku akhirnya menemukan sosok perempuan yang kurasa bisa menjadi penawar dukaku setelah kehilangan dirimu. Ia adalah sosok yang memiliki penampakan yang sepadan dengan penampakanmu. Ia bahkan memiliki bentuk senyuman yang serupa dengan senyumanmu. Karena itu, aku tak bisa menolak kehendak hatiku untuk menjadikan dirinya sebagai pengganti dirimu.

Seiring waktu, aku lalu mendekatinya dengan caraku mendekatimu. Di kafe itu, aku rajin menyapanya, mencandainya, hingga meminta nomor Whatsapp-nya. Atas komunikasi yang intens, kami pun akrab. Sampai akhirnya, belum setahun berkenalan, setelah aku mendapatkan pekerjaan dengan gelar sarjana, aku pun menikahinya. Aku merasa sudah mapan untuk berumah tangga, dan aku takut ada lelaki yang mendahuluiku karena tergila-gila pada senyumannya.

Akhirnya, hiduplah aku bersama istriku yang memiliki senyuman semanis senyumanmu itu. Kami hidup sederhana dengan berbekal pendapatanku yang seadanya sebagai karyawan perusahaan swasta. Kami hidup dengan cicilan rumah dan sepeda motor, juga tagihan dan pengeluaran rumah tangga yang terus memburu. Tetapi beruntung, kami tetap hidup bahagia. Paling tidak, sepuluh bulan hidup bersama, kami tidak pernah terlibat pertengkaran hebat. 

Kupikir-pikir, penyebab utama keharmonisan hubungan kami adalah senyuman indahnya yang seindah senyumanmu, yang membuatku ingin menatapnya setiap waktu. Demi senyuman itu, aku selalu berupaya menyenangkan perasaannya supaya aku senantiasa menikmatinya. Karena senyuman itu pula, aku sanggup meredam emosiku yang kadang bergejolak. Dan kuyakin, demikianlah keadaan rumah tangga kita seandainya kita sempat berjodoh. 

Tetapi sebagai sepasang manusia, perselisihan tetap tak bisa dihindari. Dan sejak kemarin sore, terjadi lagi persinggungan batin di antara kami karena hal sepele. Ia memintaku membelikannya martabak manis yang ia idamkan di bulan ketiga kehamilannya, dan aku membelikannya martabak rasa keju kesukaannya, sedang sebenarnya ia menginginkan rasa cokelat. Ia pun kesal, sampai saat ini, meski pun saat itu juga, aku telah balik membelikannya martabak idamannya.

Namun akhirnya, kutaksir kalau kemurungannya terjadi bukan karena kemarahannya. Kukira, ia sengaja memperturut kemanjaannya agar aku memberinya kejutan di hari ulang tahunnya. Sebab itu, agar keinginannya terwujud, aku pura-pura cuek, agar ia merasa diabaikan. Lalu, pagi ini, aku menempatkan selembar puisi yang kusalin dari laptopku semalam di bawah bantalnya, sembari berharap ia terbangun dan menemukannya dengan senang hati.

Benar saja. Beberapa lama setelah aku terbangun dan berdiri di dekat jendela ruang keluarga untuk melegakan pandangan, ia pun muncul dengan senyuman yang ditahan-tahan.

“Kenapa murung begitu? Ada masalah apa lagi?” singgungku, bermaksud menggelitik perasaannya. 

Seketika, senyuman manisnya merekah. Ia lalu menghampiriku dan memelukku dari belakang. “Ah, terima kasih. Puisimu manis sekali. Aku baru tahu kalau ternyata kau jago buat puisi,” pujinya, menyinggung puisiku yang memuja-muja keindahan senyumanmu yang serupa dengan senyumannya. 

“Kalau inspirasinya adalah senyuman yang manis seperti senyumanmu, ya, wajar kalau hasilnya adalah puisi yang manis,” tanggapku, menggombal. 

Ia pun tertawa riang, kemudian bertanya dengan nada curiga, “Tetapi kau tidak pernah menulis puisi semanis itu untuk wanita yang lain, kan?”

Aku lalu membalikkan badan, lantas menatap matanya lekat-lekat. “Ya, tidak pernahlah, Sayang, dan aku pasti tidak akan bisa. Aku hanya mau dan mampu menulis puisi seperti itu untuk senyuman yang semanis ini,” balasku, setengah berbohong, sambil mengusap-usap lesung pipinya yang mengingatkanku pada lesung pipimu. 

Terang saja, ia kembali merekahkan senyumannya. 

“Selamat ulang tahun, ya. Semoga kau selalu sehat dan bahagia, agar aku selalu bisa menatap senyuman manismu ini,” tuturku, lantas menggamit-gamit dagunya. 

Senyumannya pun tampak makin indah. “Terima kasih karena kau telah mencintaiku,” katanya, kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku. 

Sekian lama, kami hanya terus berdekapan di tengah suasana pagi yang tenang dan menenteramkan. 

Sesaat kemudian, ia mengurai pelukan, lantas berucap dengan raut sayu. “Nanti, aku ingin ke pemakaman.”

Aku mengangguk-anguk dan mengusap-usap kepalanya. “Aku akan menemanimu,” balasku, dengan pemahaman kalau di setiap hari ulang tahunnya, seperti saat ini, ia pastilah terkenang dan merindukan dirimu sebagai saudara kembarnya. 

Ia pun tersenyum sendu, lalu memasrahkan tubuhnya ke sisi tubuhku. 

Aku kembali memeluknya, lantas mengenangmu.***

___
Ramli Lahaping, kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

By Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan