Oleh Nila Aristawati
Mahasiswi Prodi Agribisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dengan posisinya yang strategis, Indonesia sendiri sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa beralih sepenuhnya ke energi terbarukan.
Pemerintah Indonesia kini tengah berupaya mendorong percepatan Transisi Energi di dalam negeri. Hal ini guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, ditengah laju krisis iklim yang terjadi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dalam mendukung percepatan transisi energi di dalam negeri, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik guna mendorong target penurunan emisi Indonesia tahun 2030. Di samping itu, Indonesia meningkatkan komitmen pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030 dengan target penurunan emisi per 23 September 2022 sebesar 31,89% (sebelumnya 29%) unconditionally dan 43,20% (sebelumnya 41%) conditionally.
Dengan posisinya yang strategis, Indonesia sendiri sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa beralih sepenuhnya ke energi terbarukan. Dimana Indonesia memiliki potensi energi matahari, angin, air, panas, bumi, serta energi biomassa sebagai sumber energi untuk pengembangan energi terbarukan.
Energi Biomassa sendiri merupakan energi yang didapat dari senyawa organik yang dihasilkan melalui proses fotostetik, baik berupa produk atau buangan. Dimana itu diperoleh dari tanaman, alga, limbah organik dan senyawa organik lainnya. Senyawa organik memiliki kandungan karbon dan hidrogen yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi. Hal tersebut menjadikan energi biomassa menjadi energi terbarukan, yang tidak akan habis karena sumber energi akan terus ada. Seperti pada penggunaan energi lainnya, energi biomassa dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik maupun keperluan lain seperti pemanas atau pun memasak. Potensi besar biomassa yang ada untuk energi saat ini salah satunya adalah limbah hasil pertanian.
Dijuluki sebagai negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian, tentunya Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas serta sumber daya alam yang begitu melimpah. Dimana demikian berpotensi menghasilkan adanya hasil samping yakni limbah-limbah pertanian dari aktivitas bertani tersebut. Limbah pertanian tersebut berasal dari tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan yakni seperti jerami, sekam padi, cangkang sawit, pelepah sawit, limbah batang, limbah kulit singkong, daun nanas, dan lain sebagainya. Namun, hingga kini pengolahan limbah pertanian masih belum tertata secara apik, dapat dilihat masih banyak sisa limbah pertanian yang dibakar begitu saja, padahal limbah pertanian tersebut menyimpan energi yang dapat dimanfaatkan kembali. Limbah-limbah pertanian tersebut dapat diolah sedemikian rupa dengan teknologi tertentu untuk dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi terbarukan guna mengganti sumber energi dominan di Indonesia yakni batu bara untuk mencapai transisi energi yang sesungguhnya.
Salah satu limbah pertanian yang melimpah di Indonesia adalah sekam padi. Sekam padi sendiri adalah salah satu hasil samping dari sumber pangan utama masyarakat Indonesia dan selalu menjadi prioritas utama dalam pembudidayaannya. Sekam padi sendiri diperoleh dari proses penggilingan beras. Pemanfaatan sekam sebagai sumber energi bisa dilakukan melalui proses gafisikasi atau memproduksi gas. Proses gasifikasi tersebut meliputi driying (penguapan kandungan air menjadi uap air) dan pirolisis (proses pemanasan lanjut tanpa suplai oksigen untuk menghasilkan bentuk padat, cair dan gas).
Berdasarkan data luas dan produksi pertanian dan perkebunan di Indonesia dari BPS tahun 2018, padi memiliki luas area dan jumlah produk terbesar, dimana padi memiliki luas area sebesar 15.994.512 Ha yang merupakan luasan terbesar dari lahan produksi perkebunan maupun pertanian lainnya. Disusul dengan kelapa sawit dan jagung, kemudian karet, kelapa, dan luas lahan paling sedikit yakni tebu dari keenam komoditi yang diambil datanya. Jumlah produksi yang dihasilkan dari keenam komoditi tersebut mencapai hingga 164.617.857 ton produk pertanian yang pastinya akan menghasilkan limbah. Masing-masing limbah atau residu tersebut memiliki nilai kalori tersendiri yang akan menghasilkan energi yang dapat meningkatkan kuantitas pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) di Indonesia dan berpotensi besar dalam mendukung transisi energi yang tengah digalakan.
Pemerintah Indonesia pun kini tengah berupaya mempercepat transisi dari batubara ke energi terbarukan dengan menerapkan kebijakan energi yang berbunyi ‘co-firing biomassa’. Co-firing sendiri merupakan teknik substitusi dalam proses pembakaran pada PLTU yang menggabungkan bahan bakar batubara dengan campuran biomassa. Teknik ini diklaim dapat mengurangi ketergantungan energi Indonesia dari sumber yang tidak terbarukan, yakni batubara. Proporsi penggunaan biomassa di PLTU Indonesia beragam, mulai dari 5% sampai ada yang bisa hampir 100% menggantikan batubara. Bahan bakunya juga menggunakan beberapa sampah dan limbah pertanian mulai dari serbuk gergaji, pelet kayu, cangkang kelapa sawit, sekam padi, dan lainnya.
Namun, co-firing biomassa ini tidak dapat dijadikan untuk solusi jangka panjang. Hal ini dikarenakan tetap dapat menghambat transisi Indonesia ke energi baru dan terbarukan (EBT). Dimana metode ini tetap menggunakan batubara yang pembakarannya sangat polutif, dan sumber biomassa seperti cangkang kelapa sawit juga didapatkan dari perkebunan yang mengamplifikasi deforestasi. Analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) bahkan menyatakan bahwa program co-firing ini membutuhkan penciptaan industri biomassa dalam skala besar untuk menyediakan suplai bahan bakar co-firing yang stabil sebesar 4-9 juta ton per tahun. Artinya ada potensi yang begitu besar dalam menambah pembukaan lahan sawit yang tak kalah buruk bagi kerusakan lingkungan.
Adanya kendala dalam pemanfaatan sumber daya biomassa limbah pertanian menjadi energi terbarukan seperti minimnya keahlian dan pengetahuan petani tentang pengolahan limbah pertanian yang tepat serta hambatan teknis dan keuangan untuk pengembangan biomassa sangat menghambat dalam pemanfaatan limbah pertanian untuk dikonversikan menjadi energi terbarukan. Prinsip sustainability menjadi hal yang utama didalam pengembangan dan produksi biomassa (terutama limbah pertanian). Oleh karena itu, lagi-lagi dukungan pemerintah sangat amat diperlukan serta keikutsertaan komunitas lokal untuk bekerja sama sehingga target transisi Indonesia ke energi baru dan terbarukan dapat tercapai.
Sebenarnya besar peluang Indonesia dalam melakukan transisi energi yang benar-benar hijau jika pemerintah mau melangkah dengan serius dan ambisius. Transisi energi bukan hanya perihal menambah bauran energi terbarukan saja, tetapi juga tentang perubahan sistemik dalam penyediaan energi pada sistem energi kita, dari tinggi emisi ke sistem energi rendah emisi. Ketersediaan biomassa pun sebenarnya sudah terkonsentrasi menurut geografis, tetapi pemanfaatannya saja yang perlu dioptimalkan. Kebijakan dan regulasi energi yang ada, seperti tentang izin dan harga energi serta insentif yang signifikan dari pemerintah harus mendukung pemanfaatan biomassa sebagai bahan baku energi terbarukan secara optimal.