Oleh Citra Ningrum,
Pegiat Literasi, tinggal di Cilimus, Kuningan
Kenaikan bahan bakar minyak akan berdampak signifikan bagi kehidupan rakyat miskin. Terutama kebanyakan dari mereka sebagai buruh. Tentu ini tidak adil bagi rakyat kecil. Mereka sudah dikenakan biaya tagihan setiap bulan, tetapi tetap saja pihak PLN mengalami kerugian.
Gelora penolakan kenaikan BBM bersubsidi belumlah usai. Betapa rakyat merasakan ketidakadilan atas kebijakan tersebut. Dampaknya begitu terasa, harga bahan pokok hingga transportasi umum semuanya naik. Tetapi pendapatan yang diterima tetap.
Kini, pemerintah tengah berencana menghapus daya listrik 450VA. Dipindahkan ke daya listrik 900VA. Selanjutnya yang 900VA akan dipindahkan ke 1200VA. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 29 Tahun 2016, Ketua Badan Anggaran (Banggar DPR) RI Said Abdullah menyampaikan akan menaikkan 450 VA ke 900 VA untuk rumah tangga miskin dan 900 VA ke 1200 VA. Alasannya untuk menaikkan kualitas hidup warga miskin dengan daya listrik lebih besar, ada juga alasan keuangan PLN, dikutip dari Kompas.com, (13/9/2022).
Selain alasan diatas, ternyata PLN sedang mengalami oversupply. Pada tahun 2022, kondisi surplus listrik PLN mencapai 6 gigawatt (GW) dan akan bertambah menjadi 7,4 GW di 2023, bahkan diperkirakan mencapai 41 GW di 2030, ketika ada EBT (energi baru terbarukan), akan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan PLN.
Dilansir dari Sindonews.com, (12/9/2022), pemindahan daya listrik akan tetap disubsidi selama nomor listrik terdaftar pada DTKS. Hanya saja, subsidi listrik pada 2023 ditetapkan Rp72,5 triliun. Sementara keseluruhan belanja subsidi energi 2023 sebesar Rp211,9 triliun. Artinya PLN mengalami kerugian yang besar.
Benarkah demikian? Bukankah ketika rakyat membayar listrik setiap bulannya harus tepat waktu?, jika tidak akan dikenakan denda. Bahkan, jika lebih dari tiga bulan tidak membayar tagihan listrik, pihak PLN akan mencabut alirannya. Begitupula yang menggunakan token, setiap pembelian harus tunai. Tidak ada kredit atau bahkan utang. Artinya, darimana posisi PLN mengalami kerugian?
Dikelola Pihak Swasta
Kenaikan bahan bakar minyak akan berdampak signifikan bagi kehidupan rakyat miskin. Terutama kebanyakan dari mereka sebagai buruh. Tentu ini tidak adil bagi rakyat kecil. Mereka sudah dikenakan biaya tagihan setiap bulan, tetapi tetap saja pihak PLN mengalami kerugian.
Alasan lain, peningkatan daya listrik pun untuk mendata rakyat yang sepatutnya mendapatkan subsidi. Bukan salah sasaran lagi. Karena masih banyak yang menikmati adalah orang yang mampu. Bagi pemerintah itu sangat merugikan, beban negara semakin berat, dan anggaran akan menumpuk.
Berarti apa penyebabnya? Faktanya, sejak tahun 2002, terdapat UU No. 20 tentang keinginan pemerintah untuk memprivatisasi sektor kelistrikan. Maksudnya, pengurusan sektor kelistrikan diserahkan kepada swasta, namun gagal disahkan karena adanya tuntutan judicial review dari elemen masyarakat.
Hanya saja, pengaruh swasta begitu kuat, hingga akhirnya berlanjut pada tahun 2009. Pemerintah merumuskan UU No. 30 Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Isinya menyebutkan bahwa negara bukanlah pemain tunggal dalam mengelola kelistrikan. Ada pihak swasta yang boleh terlibat didalamnya. Kebijakan ini memberi atmosfer kondusif bagi para pebisnis.
Menurut, Salamudin Daeng mengatakan bahwa UU No.30 Tahun 2009 bermasalah. Ada beberapa hal. Pertama, mengandung semangat komersialisasi listrik, yakni bisnis ketenagalistrikan dengan prinsip usaha yang sehat, yaitu harus menguntungkan. Kedua, mengandung misi liberalisasi, artinya penyelenggaraan kelistrikan bisa dilakukan secara terpisah-pisah. Ketiga, bisa dijadikan tedensi landasan hukum oleh oligarki nasional untuk melakukan privatisasi sekaligus perampokan kekayaan negara.
Maka bukan berarti subsidi tak tepat sasaran, atau berusaha untuk meningkatkan kualitas rakyat. Tetapi lebih kepada untuk menguntungkan swasta. Artinya, adanya penghapusan daya listrik 450VA akan semakin membebani rakyat miskin. Karena pastinya tagihannya pun akan meningkat.
Jikapun ada subsidi, pastinya tidak akan semua mendapatkannya. Selebihnya, harus membayar sendiri. Inilah beban yang tak ternilai, harus diterima rakyat miskin. Disini bisa dikatakan pihak swasta akan selalu untung, dan rakyat akan selalu dirugikan.
Pandangan Islam
Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Persoalan listrik yang merupakan kebutuhan dasar semua orang akan diselesaikan hingga tuntas. Diawali dari penguasa yang sadar akan tanggung jawab sebagai kepala negara, yaitu mengurus rakyat dan menjadi pelayan/penggembala rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Imam/pemimpin adalah laksana penggembala dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat (yang digembalakannya).” (HR Imam Al-Bukhari).
Atas dasar tersebut, maka penguasa dalam aturan Islam akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dan semuanya harus bersandar pada syariat serta dalam suasana keimanan. Islam menegaskan bahwa seorang penguasa tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada individu atau pihak-pihak tertentu. Sebab itu bentuk dari kelalaian dalam menjalankan amanah.
Selain itu, Islam pun mengatur konsep kepemilikan dengan membagi tiga jenis yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Atas dasar ini, individu tidak akan memiliki kewenangan dalam memiliki apa pun yang terkategori sebagai harta milik umum.
Dalam hal ini, listrik yang termasuk harta milik umum, karena seluruh rakyat menjadikannya sebagai kebutuhan asasi. Maka, penguasalah yang harus mengelolanya, dan menyerahkan hasilnya kepada seluruh rakyat secara gratis. Negaralah yang memiliki wewenang untuk mengelola kepemilikan umum ini dan mendistribusikannya secara merata kepada seluruh rakyat, miskin ataupun kaya.
Inilah yang mendasari bahwa listrik bukan untuk dinaikkan harganya atau dialihkan ke daya listrik yang besar, tetapi lebih kepada pengelolaannya. Sehingga, rakyat tak harus terbebani dengan kebijakan yan ada. Wallahu’alam bishshawab.