SOL Sepatu

Oleh: Nana Suhendra

Saat mengesol pun tidak cukup hanya memiliki ilmu sol, namun butuh seninya. Disnilah pentinya sebuah seni akan sebuah ilmu. Bukan sekedar mengesol, lelaki tu itu juga memperhatikan kenyamanan bagi pemilik sepatu.

Ada hal yang menarik, dimana setiap hari minggu ada tempat yang didatangi ribuan masyarakat yang akan menikmata suasana dengan berbagai rupanya. Ada yang hanya sekedar olahraga, rekreasi, ada juga yang berdagang dengan menyajikan berbagai kuliner mulai dari jajanan tradisional hingga siap saji. Bahkan ada mengais rejeki dari jasa Sol Sepatu dan menjual sepatu bekas. Bahkan pedagang ini menjajaki dagangnnya hampir setiap hari.

Saat berada disana, ada sosok lelaki paruh baya ditemani dengan dagangan sepatu bekasnya yang dipikul. Pedagang ini berada didepan pintu masuk ke lokasi publik terebut, sehingga akan mudah diingat ketika melintasnya. Bicara sepatu bekas, kadangkala disaat memiliki barang yang sudah rusak bahkan tidak rusak pun ingin menjadikan sebagai barang bekas, bukannya diperbaiki. Bahkan ingin segera membuangnya dan menggantikannya dengan yang baru.

Hal yang menarik dari lelaki tua itu, dengan senyumnya sepatu yang lusuh dibersihkan, dilap, dan ketika ada yang rusak alasnya dia mengesol-nya sendiri. Sehingga sepatu itu kembali tampak bagus dan layak untuk dipakai kembali.

Memang satiap orang memiliki selera akan apa yang dibutuhkan dan diinginkanakan atas sesuatu barang. Namun ketika melihat lelaki tua itu mengesol sepatu, disini ada sikap bagaimana kita memperlakukan suatu barang yang sudah kita pakai selama masih bisa diperbaiki, mengapa tidak untuk diperbaiki kembali lalu digunakan.

Rupanaya pola hidup sudah bergeser. Padahal orang tua kita dulu mengajarkan bagaimana memperlakukan suatu barang. Mulai menyimpan, menggunakan, dan menjaga agar barang tersebut dapat digunakan dalam waktu lama. Seperti halnya mencuci baju, menjemur, menyetrika, lalu menyimpan dengan rapih.

Begitu juga pesan yang disampaikan orang tua kala itu: “Jiwa kita perlu dicuci agar bersih, kemudian dijemur, mampu mengendalikan diri ketika menghadapi persoalan dengan keteguhan dan kesabaran. Lalu dilicin, jiwa dan raga juga sama perlu dilicin dirapihkan agar pikiran-pikiran, ambisi, amarah, bisa ditempat pada seutu yang layak. Kemudian menyimpannya, disini belajar menyembunyikan jati diri atas kebaikan yang telah dan akan  lakukan. Karena ini belajar tentang sebuah ketulusan.

Dari sol sepatu ada makna, ketika ada saudara kita yang terjatuh, jangan sampai menjauhinya, paling tidak mendengarkannya dan berupaya menjahitnya atau mengangkatnya, sehingga sosok itu akan kembali percaya diri menjalani kehidupannya. Jangan, jangan kau tinggalkan ketika melihat saudaramu terjatuh, namun jahitlah, jahitlah. Seperti lelaki tua itu menjahit sepatu atau kita mengenalnya mengesol.

Tak sampai disina, namun dibalik sosok lelaki tua ada hikmah juga bagaimana menjadi seorang ayah bagi anak-anaknya yang sholeh, dan menjadi seorang suami bagi istrinya yang juga sholeh. Ketika ditanya berapa jumlah anak dan kondisi istrinya, dia hanya tersenyum.

“Sekalipun pernah juga dalam satu hari tidak mendapatkan pembeli, namun saya yakin, sang pemilik alam semesta tidak akan diam menurunkan pertolongannya dalam rupa yang berbeda. Perlu kita yakini berdoalah lalu berikhtiar, dan ikhtiarkan doa,” ungkap lelaki tua sambil mengesol sepatu yang sudah lusuh itu.

Saat mengesol pun tidak cukup hanya memiliki ilmu sol, namun butuh seninya. Disnilah pentinya sebuah seni akan sebuah ilmu. Bukan sekedar mengesol, lelaki tu itu juga memperhatikan kenyamanan bagi pemilik sepatu. Tak disadari di ruang publik seperti Pandapa Paramarta ini mengajarkan bagaimana mengetahui dan memahami hakekat akan sebuah peristiwa, kejadian, dan pengalaman apa yang dilihat dan didengar dalam suatu ruang publik.

By Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan

Berita Menarik Lainnya