Pewarta : Eri Sutrisno | Editor : Heri Taufiq
Porang dulu tak dilirik masyarakat karena umbinya bisa menimbulkan gatal-gatal. Kini, umbi ini jadi primadona ekspor komoditas pertanian.
KUNINGANPOS.COM
Kuninganpos.com – Porang? Tanaman apa itu? Orang Jawa kelahiran sebelum tahun 70-an mungkin akan kenal tanaman umbi-umbian suweg, atau iles-iles. Umbi yang berbentuk bulat dengan akar rambut di kulit luarnya dan bunganya seperti bunga bangkai. Nah porang adalah sejenis itu.
Bedanya hanya terletak pada warna umbinya. Suweg agak kuning orange, porang kuning muda. Sedangkan iles berwarna putih. Suweg bisa dimakan dengan dikukus dan dimakan dengan cocolan parutan kelapa dan garam. Sementara Porang dan iles dulu tak pernah dilirik oleh masyarakat kita. Keduanya tidak bisa dimakan kalau hanya direbus seperti suweg. Sebab, dapat menimbulkan gatal di mulut.
BACA JUGA : Mentan Syahrul: Porang Adalah Komoditas Mahkota
Porang dewasa umbinya besar. Beratnya sampai puluhan kilogram. Beberapa tahun terakhir, porang diekspor ke Jepang untuk bahan baku beras shirataki, atau beras diet. Kenapa demikian? Kementerian Pertanian RI pernah melansir bahwa tanaman porang, seperti halnya dengan tanaman umbi-umbian lain, mengandung karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dan serat pangan. Karbohidrat merupakan komponen penting pada umbi porang yang terdiri atas pati, glukomannan, serat kasar, dan gula reduksi.
Kandungan glukomannan yang relatif tinggi merupakan ciri spesifik dari umbi porang.
Glukomannan dapat dimanfaatkan pada berbagai industri pangan, antara lain, untuk produk makanan, seperti konnyaku, shirataki (berbentuk mie), sebagai bahan campuran/tambahan pada berbagai produk kue, roti, es krim, permen, jeli, selai, dan bahan pengental pada produk sirup dan sari buah.
Selain itu, glukomannan dimanfaatkan oleh industri kimia dan farmasi, antara lain, sebagai bahan pengisi dan pengikat tablet, bahan pelapis (coating dan edible film), bahan perekat (lem, cat tembok), pelapis kedap air, penguat tenunan dalam industri tekstil, media pertumbuhan mikrobia, dan bahan pembuatan kertas yang tipis, lemas, dan tahan air.
Apabila tanaman dipanen pada satu periode tumbuh, kadar glukomannan dalam ubi berkisar antara 35-39%. Kadar tersebut terus meningkat sejalan dengan umur panen yaitu 46-48%, dan 47-55% masing-masing pada dua dan tiga periode tumbuh.
Namun dimulai saat tanaman mulai berbunga hingga biji mulai masak, kadar glukomannan menurun hingga 32-35%. Oleh karena itu, panen umbi sebaiknya dilakukan sebelum tanaman mulai berbunga.
Porang bisa tumbuh di lokasi yang ada pohon tegakan di atasnya. Porang toleran dengan naungan hingga 60% di jenis tanah apa saja, di ketinggian 0 sampai 700 mdpl. Yang paling penting, PH tanah yang digunakan untuk menanam porang di antara 5,5 sampai 6,5.
Selain PH, air juga memiliki peran penting untuk perkembangan porang. Porang membutuhkan air dengan intensitas sedang, tidak sampai membuat tanah menjadi becek namun juga jangan sampai tanah kering.
Bibit porang biasa digunakan dari pembelahan umbi batang maupun umbinya yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung. Musim panen porang awal antara Maret sampai April, panen paripurna di Juli sampai Agustus. Pada panen Maret-April, porang cenderung dihargai paling rendah karena kadar airnya masih tinggi.
Sedangkan, harga tertinggi ada di panen keduanya. Yakni, antara bulan Juli-Agustus. Contoh harga porang pada 2020, untuk panen pertama sekitar Rp11 ribu. Sedangkan dari panen keduanya bisa harganya bisa mencapai 13–15 ribu per kg. Porang yang laku untuk pabrik biasanya di atas berat 0,5 kg.
Harga bibit umbi mini juga cukup menjanjikan. Umbi mini dengan isi dua sampai 60 biji per kilogram harganya bisa mencapai Rp100 ribu per kilogram. Sedangkan untuk harga katak yang satu kilogram isi 200 sampai 250 butir harganya di kisaran Rp300 ribu sampai Rp350 ribu/kg.
Kini porang menjadi komoditas ekspor. Sejak 2016 sampai 2019, tren penjualan porang ke pasar ekspor selalu mengalami kenaikan. Pertanian.go.id menulis, tanaman porang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan, karena punya peluang yang cukup besar untuk diekspor. Catatan Badan Karantina Pertanian menyebutkan, ekspor porang pada 2018 tercatat sebanyak 254 ton, dengan nilai ekspor yang mencapai Rp11,31 miliar ke negara Jepang, Tiongkok, Vietnam, Australia, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data Indonesia Quarantine Full Automation System (IQFAST)/Badan Karantina Pertanian (Barantan), pada semester pertama tahun ini, ekspor komoditas porang Indonesia sudah mencapai angka 14,8 ribu ton. Angka ini telah melampaui jumlah ekspor semester pertama pada 2019 dengan jumlah 5,7 ribu ton.
Jumlah ekspor komoditas porang pada semester pertama 2021 mengalami peningkatan sebesar 160 persen dibandingkan semester pertama 2019. Adapun tujuan utama ekspor komoditas porang adalah Tiongkok, Vietnam, Thailand, hingga Jepang.
Di Indonesia, sudah ada beberapa sentra pengolahan tepung porang saat ini, seperti di daerah Pasuruan, Madiun, Wonogiri, Bandung, serta Maros. ***